Seorang pembelajar dengan semangat: Rogo, Scribo, Gratias Ago (Aku Bertanya, Aku Menulis, Aku Bersyukur). Pernah bekerja di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.

Dubes RI di Garda Depan dalam Era Perang Tarif Trump

Selasa, 8 April 2025 11:19 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
CEO Temasek International Dilhan Pillay menerima Penghargaan Adinata atas nama Temasek dari Yang Mulia Suryopratomo, Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura, pada 26 Agustus 2021.
Iklan

Duta Besar RI adalah garda terdepan dalam pemenangan diplomasi di era perang dagang saat ini dimana tarif menjadi senjata utama suatu negara.

***

Tanggal 9 April 2025 besok, perang tarif AS terhadap Indonesia dinyatakan berlaku. Indonesia kini memasuki era kritikal di tengah arus deras proteksionisme global yang tengah membara. Era yang ditandai kebijakan Donald Trump yang menetapkan tarif dasar 10 persen atas seluruh produk impor ke Amerika Serikat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, yang membuat Indonesia terguncang bukan sekadar angka itu—melainkan tarif tambahan 32 persen yang dijatuhkan secara "timbal balik," menjadikan total tarif sebesar 42 persen.

Dasarnya? Perhitungan sepihak atas defisit perdagangan AS dengan Indonesia sebesar $17,9 miliar pada 2024 dibandingkan dengan ekspor Indonesia ke AS senilai $28,1 miliar. Rasio 63,7 persen, dibagi dua, dibulatkan menjadi 32 persen. Begitulah Trump membuat kebijakan.

Di tengah ketidakpastian ini, sektor usaha kecil dan menengah (UKM)—yang menjadi tulang punggung ekspor Indonesia di bidang tekstil, garmen, alas kaki, dan elektronik—terancam lumpuh.

Sekitar 75 persen ekspor sektor ini menuju pasar AS. Dengan tarif yang melonjak drastis, biaya produk meroket, daya saing menurun, dan ancaman kehilangan pelanggan membayangi.

Bangladesh sudah lebih dulu merasakannya: dengan tarif AS 37 persen, industri tekstil mereka menyusut dan pembeli mulai berpaling. Indonesia berisiko mengalami nasib serupa, kecuali jika segera merespons dengan langkah strategis yang efektif.

Pemerintah Indonesia tidak bisa menganggap enteng situasi ini. Di tengah ekspor UKM Indonesia yang pasti akan terguncang, saatnya Presiden memanggil dan memperkuat jajaran Duta Besar RI, menyusun strategi diplomatik nasional yang terpadu dan efektif, dan bergerak cepat memperkuat posisi mereka di medan diplomasi global.

Duta Besar Indonesia di Washington seharusnya hadir dan memegang peran sentral. Prioritas utamanya adalah membuka kanal negosiasi bilateral dengan pemerintahan AS, untuk mendorong pengecualian tarif atau setidaknya pengurangan bagi sektor-sektor strategis.

Hubungan diplomatik Indonesia-AS yang selama ini stabil harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kunjungan tingkat tinggi, dialog dengan Departemen Perdagangan AS, hingga pendekatan melalui mitra dagang dan pelobi di Capitol Hill menjadi alat penting dalam upaya ini. Pasti ada biaya (cost) di tengah pemerintah jalankan efisiensi (realokasi anggaran), tetapi ini adalah “the good cost”.

Namun diplomasi saja tidak cukup. Indonesia harus mempercepat diversifikasi pasar ekspor. Meski ini tidak semudah membalik kedua tangan. Perjanjian dagang seperti Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) dan EU-Indonesia CEPA harus dioptimalkan.

Negara-negara di Asia Timur dan Afrika juga bisa menjadi alternatif yang menjanjikan, terutama untuk produk-produk UKM yang selama ini sangat bergantung pada pasar AS. Saat ini puluhan dokumen CEPA sudah dibuat dan ditandangani, namun seperti biasa: berhenti sebatas dokumen.

Pemerintah, melalui Kedutaan Besar dan Atase Perdagangan, harus aktif memfasilitasi UKM dalam mengikuti pameran internasional, menyediakan intelijen pasar, dan menjembatani pertemuan bisnis lintas negara. Ketahanan ekspor hanya akan terbangun jika kita tidak lagi bertumpu pada satu pasar utama.

Tak hanya itu, strategi ekspor perlu diperkuat dengan diplomasi perlindungan produk-produk Indonesia, “proteksionisme a la Indonesia” demi ketahanan dan keberlanjutan ekspor itu sendiri.

Strategi Proteksionisme Soft-Power.

Setiap negara merespons tarif Trump dengan caranya masing-masing. Uni Eropa menyiapkan daftar panjang tindakan balasan. Australia menolak membalas, namun menyuarakan ketidaksetujuannya. Brasil bahkan mengesahkan undang-undang khusus untuk merespons kebijakan proteksionis AS.

Dalam peta respons global, Indonesia mengambil posisi tengah—tidak membalas, tetapi juga tidak diam.

Yang menarik, ada peluang bagi Indonesia untuk mendorong kerja sama regional melalui ASEAN. Kolaborasi regional bisa menjadi kekuatan kolektif yang lebih efektif dalam menghadapi lonjakan proteksionisme global.

Kerangka diplomasi multilateral perlu dihidupkan kembali, karena dunia membutuhkan suara-suara moderat yang mengedepankan kerja sama, bukan konfrontasi.

Inilah saatnya Indonesia menerapkan diplomasi proteksionisme berbasis soft power—bukan dengan tarif tinggi a la Trump, melainkan kebijakan cerdas yang melindungi pasar dalam negeri secara halus namun tegas.

Standar kualitas yang diperketat, insentif substitusi impor, dan preferensi belanja pemerintah untuk produk lokal bisa menjadi alat efektif, dibingkai dalam narasi pembangunan berkelanjutan dan kemandirian ekonomi. Narasi yang cukup disukai oleh dunia internasional.

Diplomasi ekonomi pun harus berevolusi: dari promosi ekspor menjadi pelindung pasar nasional, dari fungsi teknis menjadi strategi geopolitik.

Dubes RI di Beijing perlu mulai menyuarakan isu banjir produk China dalam dialog bilateral (seharusnya dari dulu), sementara di Washington, Indonesia harus menegaskan posisinya sebagai mitra demokratis yang tak tunduk pada dominasi siapa pun.

Indonesia tak perlu memilih antara China atau Amerika. Yang harus dipilih adalah keberpihakan pada kepentingan nasional—tanpa konfrontasi, tapi dengan posisi tegas.

Itulah seni diplomasi proteksionisme yang efektif: lembut dalam pendekatan, kokoh dalam tujuan. Sebab yang bertahan bukanlah yang mengikuti arus, melainkan yang menciptakan ruang gerak sendiri di tengah badai.

Tarif 42 persen dari AS adalah pukulan keras, tetapi bukan akhir dari perjalanan ekspor Indonesia. Ini adalah pengingat bahwa ketergantungan pada satu pasar utama adalah risiko. Pengingat bahwa tarif adalah senjata ampuh dalam perang dagang antarnegara.

Ini juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk membuktikan kematangan diplomatik, ketahanan industri, dan ketangguhan ekonomi kreatifnya. Diplomasi cerdas, diversifikasi pasar, dan investasi domestik—itulah tiga kaki penyangga yang harus segera ditegakkan.

Ini adalah poin strategis para Dubes RI saat ini dan ke depan. Dunia boleh berubah cepat dan kadang tak adil, tetapi bangsa yang adaptif dan bersatu selalu bisa menemukan jalan keluarnya. Semoga!

 

Iwan Koswadhi, Pengamat Kebijakan Industri dan Perang Dagang. Pembelajar bermotto: Rogo, Scribo, Gratias Ago.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Iwan Koswadhi

Pemerhati Kebijakan Industri dan Perang Dagang

0 Pengikut

img-content

Manuver AS di Tengah Gencatan Tarif Trump

Selasa, 20 Mei 2025 09:21 WIB
img-content

Senjata China dalam Perang Tarif Trump

Senin, 12 Mei 2025 17:08 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler